Kamis, 18 Desember 2008

Keperawatan jiwa dan Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Perlukah ?

Pendahuluan

Keperawatan jiwa merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Apalagi dengan terjadinya krisis multi dimensi dan global yang terjadi saat ini, semua rakyat Indonesia baik dari mulai kandungan sampai lanjut usia butuh keperawatan jiwa untuk mempertahankan dan terus meningkatkan kesehatan jiwanya.

Keperawatan jiwa itu sendiri merupakan suatu pelayanan keperawatan yang komprehensif, holistik dan paripurna yang berfokus individu, keluarga dan masyarakat baik yang sehat jiwa, rentan terhadap stress maupun dalam tahap pemulihan serta pencegahan kekambuhan. Tujuan pelayanan keperawatan jiwa adalah meningkatkan kesehatan jiwa, mencegah terjadinya gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pasien dan keluarga dalam memelihara kesehatan jiwa.

Pelayanan keperawatan jiwa itu sendiri merupakan pelayanan yang komprehensif yang berfokus pada pencegahan primer pada anggota masyarakat yang sehat jiwa, pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa dan pencegahan tersier pada pasien gangguan jiwa dengan proses pemulihan. Selain itu keperawatan jiwa merupakan pelayanan yang holistik berfokus pada aspek bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual, dan lengkap jenjang pelayanannya yaitu dari pelayanan kesehatan jiwa spesialistik, pelayanan kesehatan jiwa integratif dan pelayanan kesehatan jiwa yang bersumber daya masyarakat. Dan pelayanan keperawatan jiwa tersebut diberikan secara terus menerus (continuity of care) dari kondisi sehat sampai sakit dan sebaliknya, baik di rumah maupun di rumah sakit, (di mana saja orang berada), dari dalam kandungan sampai lanjut usia.

Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah yang banyak terjadi dan sering terabaikan dimasyarakat, padahal dengan terjadinya berbagai krisis yang terjadi di negara kita ini, masalah-masalah kesehatan jiwa ini semakin meningkat. Banyak kita lihat dimedia massa, bagaimana anak kecil harus mati bunuh diri hanya karena problem sekolah maupun keluarganya.

Gangguan jiwa dalam berbagai bentuk adalah penyakit yang sering dijumpai pada semua lapisan masyarakat. Penyakit ini dialami oleh siapa saja, bukan hanya mereka yang mapan. Prevalensi gangguan jiwa di negara sedang berkembang dan negara maju relatif sama. Di Indonesia, prevalensinya sekitar 20 persen dari total penduduk dewasa. Dalam laporan WHO juga diperlihatkan tingginya beban penyakit yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa. Dari 10 penyebab yang menimbulkan beban penyakit, empat di antaranya adalah akibat langsung dari gangguan jiwa, yaitu depresi, penggunaan alkohol, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Sayangnya, untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa ini, di Indonesia tidak didukung oleh sumber-sumber tenaga, fasilitas, maupun kebijakan kesehatan jiwa yang memadai. Secara keseluruhan, sumber daya yang dimiliki masih jauh dari mencukupi.

Untuk itu sangat perlu upaya kesehatan jiwa untuk kita semua, agar masyarakat dan generasi penerus bangsa ini mempunyai kualitas kesehatan jiwa yang optimal, dan tidak rentan terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi sepanjang hidupnya. Semua individu baik yang sehat, mengalami masalah resiko maupun penderita gangguan jiwa harus dibina, dilatih agar mampu mengatasi masalahnya dan mandiri dalam kehidupannya.

Dan alangkah mirisnya hati kita, jika kita lihat keseharian orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa ini dijauhi dan mendapatkan stigma serta diskriminasi dimasyarakat. Dan saat ini stigma dan diskriminasi tersebut masih sangat kuat, terjadi karena adanya proses labelling terhadap orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa. Teori labelling ini pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-orang lain (orangtua, keluarga, masyarakat) menilainya. Penilaian itu ditentukan oleh kategorisasi yang sudah melekat pada pemikiran orang lain tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk ke dalam kategori-kategori yang sudah dianggap baku oleh masyarakat (dinamakan: residual) otomatis akan dianggap menyimpang. Karena itulah orang bisa dianggap sakit jiwa hanya karena berbaju atau bertindak "aneh" pada suatu tempat/masa tertentu. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya. Dan itu akan merugikan bagi penderita gangguan jiwa itu sendiri.

Karena proses labeling ini juga penderita gangguan jiwa banyak yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan, begitu juga dengan peran sosial yang layak didapatnya di masyarakat. Selain itu akses mereka terhadap fasilitas publikpun terbatas, termasuk tidak adanya asuransi yang menanggung penderita gangguan jiwa. Dan banyak pemberitaan atau pemaparan oleh media massa tentang penderita gangguan jiwa lebih banyak bersifat eksploitatif. Belum lagi adanya penyalahgunaan peraturan perundangan yang diberlakukan terhadap penderita gangguan jiwa sehingga mereka sangat rentan kehilangan hak hukumnya, seperti hak pengasuhan anak, dan hak waris dan lain-lain.

Selain stigma, perlakuan buruk juga sering terjadi pada pasien-pasien dengan masalah kesehatan jiwa, hal ini berhubungan dengan keterbatasan perangkat peraturan/perundang-undangan yang mengatur hak dan kewajiban hukum penderita gangguan jiwa. Juga masih kaburnya deskripsi dan batasan istilah gangguan jiwa dalam pasal- pasal peraturan atau perundang-undangan yang berlaku di negeri ini memudahkan terjadinya perlakuan salah yang merugikan mereka.

Proses pembuatan Undang-undang ini harus mulai dijajaki sekarang ini apalagi ditinjau dari beberapa negara lain yang telah terlebih dahulu menerapkan Undang-undang kesehatan jiwa untuk melindungi rakyatnya yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Bila kita lihat di Aceh sendiri sebagai bagian dari Negara ini telah menerapkan Undang-undang Pemerintahan Aceh yang didalamnya mengandung beberapa butir tentang perlindungan untuk individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Pasal 226 ayat 1 Undang-undang pemerintahan aceh menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat mengikutsertakan lembaga sosial kemasyarakatan untuk berperan dalam program perbaikan, pemulihan psikososial, dan kesehatan mental akibat konflik dan bencana alam. Dan ayat 2 menyebutkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan budaya Aceh dan memaksimalkan peran masyarakat setempat. Walaupun belum secara keseluruhan melindungi seluruh hak dari pasien dengan masalah kesehatan jiwa tersebut.

Proses pembuatan Undang-undang atau legislasi tersebut dapat dimulai dengan tahap persiapan, pembuatan draft Undang-undang, proses adopsi dan implementasi undang-undang. Isu utama yang harus diperhatikan dalam proses legislasi undang-undang adalah tentang persiapan yang diperlukan dalam menjamin kelancaran pelaksanaan UU, bentuk standar dan proses administrasi, prosedur harus mengatur dan memantau pelaksanaan undang – undang, mengubah sikap masyarakat dan mengurangi stigma dan diskriminasi merupakan komponen penting dalam menentukan keberhasilan UU, pengguna, keluarga, kelompok advokasi dan profesional perlu memiliki pengetahuan tentang undang – undang melalui pelatihan dan sumber dana dan SDM harus disiapkan.

Kamis, 27 November 2008

Konseptual Model Calista Roy dan aplikasinya dalam keperawatan jiwa

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, yang berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spiritual yang komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia. Keperawatan diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan individu dan kelompok dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.

Keperawatan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang respon manusia terhadap penyakit, pengobatan dan perubahan lingkungan yang dapat menimbulkan suatu fenomena. Fenomena tersebut dapat diatasi perawat dengan mengaplikasikan berbagai konsep model dan teori keperawatan yang dimilikinya. Selain itu dengan mengaplikasikan teori dan konsep model keperawatan, perawat dapat mengetahui apa tindakan keperawatan yang harus dilakukan dan alasan mengapa tindakan keperawatan tersebut dilakukan.

Aplikasi teori dan konsep model keperawatan dapat diterapkan diberbagai cabang ilmu keperawatan, baik di keperawatan dasar, keperawatan klinik, maupun keperawatan komunitas. Di keperawatan jiwa sendiri salah satu teori dan konsep model keperawatan yang dapat diterapkan adalah Model Adaptasi Roy.

Model Adaptasi Roy menggambarkan manusia sebagai sistem terbuka dan sistem adaptif yang akan merespons terhadap kejadian atau perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan baik yang internal maupun external. Respons yang ditimbulkan tersebut dapat berupa respon adaptif dan maladaptif, sesuai dengan mekanisme koping yang digunakan pasien dalam menghadapi stressor yang dihadapinya. Roy juga memandang lingkungan sebagai kondisi internal maupun eksternal yang dapat diatur dan dimanipulasi perawat dalam rangka membantu pasien memulihkan diri.

Kegiatan keperawatan diarahkan pada penciptaan lingkungan yang memungkinkan terjadinya penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Selain itu kegiatan keperawatan juga diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan kemampuan proses adaptasi klien terhadap stimulus ke arah yang lebih positif. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang teori dan aplikasi Model Adaptasi Roy.

B. TUJUAN PENULISAN

Setelah penulisan makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat:

1. Memahami Model Adaptasi Roy

2. Melakukan proses keperawatan berdasarkan Model Adaptasi Roy

3. Menganalisis kelebihan dan kekurangan Model Adaptasi Roy

BAB II

LANDASAN TEORI

Model Adaptasi Roy berasumsi bahwa dasar ilmu keperawatan adalah pemahaman tentang proses adaptasi manusia dalam menghadapi situasi hidupnya. Roy mengidentifikasikan 3 aspek dalam model keperawatannya yaitu: pasien sebagai penerima layanan keperawatan, tujuan keperawatan dan intervensi keperawatan. Masing-masing aspek utama tersebut termasuk didalamnya konsep keperawatan, manusia, sehat-sakit, lingkungan dan adaptasi. Konsep adaptasi diasumsikan bahwa individu merupakan sistem terbuka dan adaptif yang dapat merespon stimulus yang datang baik dari dalam maupun luar individu (Roy & Andrews, 1991 dalam Araich, 2001). Dengan Model Adaptasi Roy, perawat dapat meningkatkan penyesuaian diri pasien dalam menghadapi tantangan yang berhubungan dengan sehat-sakit, meningkatkan penyesuaian diri pasien menuju adaptasi dan dalam menghadapi stimulus. Kesehatan diasumsikan sebagai hasil dari adapatasi pasien dalam menghadapi stimulus yang datang dari lingkungan. Dalam Model Adaptasi Roy juga terdapat proses keperawatan yang dimulai dari mengkaji prilaku dan faktor faktor yang mempengaruhi, mengidentifikasi masalah, menetapkan tujuan . dan mengevaluasi hasil

Peran perawat adalah memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan memanipulasi stimulus yang datang dari lingkungan yang akhirnya menimbulkan koping yang positif sebagai hasil dari adaptasi dan respon negatif dideskripsikan sebagai respon yang yang maladaptif (Tolson & McIntosh, 1996 dalam Araich, 2001). Adaptasi mempertimbangkan adanya biologis adaptasi mode dan psikososial adaptasi mode. Psikososial adaptasi mode termasuk konsep diri, fungsi peran, dan interdependen. Keempat adaptasi mode tersebut saling berhubungan. Biologis dan fisiologis adaptasi mode berfokus pada kebutuhan dasar yang menjaga integritas anatomi dan fisiologis individu.

Stimulus yang datang dari lingkungan baik internal maupun eksternal dikategorikan tiga yaitu: stimulus fokal, kontekstual dan residul. Stimulus fokal adalah perubahan atau situasi yang segera berakibat terhadap individu seperti stress, trauma atau sakit. Stimulus kontekstual adalah stimulus lain yang berpengaruh terhadap stimulus fokal contoh lingkungan keluarga, stimulus residual adalah karakteristik, nilai, sikap individu yang berkembang dari pengalaman masa lalu seperti nilai, pengalaman dan sifat (Tolson & McIntosh dalam Araich, 2001).

Dalam proses adaptasi, kesehatan adalah hasil dari adaptasi manusia terhadap stimulus yang dihadapinya, dan merupakan proses yang terjadi dan terintegrasi serta menggambarkan hubungan antara individu dengan lingkungan. Sedangkan adaptasi itu sendiri merupakan proses dan hasil dari apa yang dipikirkan dan dirasakan individu sebagai individu dan kelompok, dengan menggunakan kesadaran dan pilihan untuk membuat integrasi antara individu dengan lingkungan. Respon yang timbul dalam proses adapatasi dapat berupa respon adaptif dan respon inefektif. Respon adaptif merupakan peningkatan integritas tujuan dari individu dalam hidup, pertumbuhan, reproduksi, penguasaan dan transformasi individu dan lingkungan. Sedangkan respon yang tidak efektif merupakan respon yang tidak berkontribusi dalam pencapaian integritas individu. Dalam proses adaptasi juga terdapat mekanisme koping dan juga sub sistem regulator dan cognator. Regulator merupakan respon yang timbul secara otomatis terhadap stimulus berupa proses syaraf, kimia dan sistem endokrin. Cognator merespon melalui respon cognitif dan melalui saluran emosi dan kognitif yaitu persepsi dan proses informasi, belajar, keputusan dan emosi. Selain itu prilaku dikatakan sebagai aksi dan reaksi yang timbul baik internal dan eksternal dalam keadaan yang spesifik. Proses adaptasi individu menurut Model Adaptasi Roy dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini:

Gambar 1. Individu sebagai sistem adaptif

Tujuan perawatan adalah meningkatkan adapatasi dengan mengatur stimulus lingkungan. Manajemen keperawatan pada asuhan keperawatan pada pasien termasuk: meningkatkan, mengurangi, mempertahankan, mengubah yang berhubungan dengan stimulus fokal dan kontekstual yang relevan. Tujuan tindakan keperawatan adalah meningkatkan adaptasi, yang berkontribusi terhadap kesehatan, kualitas kehidupan dan kematian yang bermartabat.

Proses keperawatan berdasarkan Model Adaptasi Roy adalah metode pemecahan masalah pasien dengan mengidentifikasi stimulus dan mengkaji fungsi dari adaptasi mode. Dalam proses keperawatan ada 2 level pengkajian yaitu pengkajian prilaku pasien dan pengkajian stimulus yang mengakibatkan prilaku pasien. Langkah pertama proses keperawatan adalah pengkajian prilaku. Prilaku yang dikaji adalah 4 adaptasi mode yaitu fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependen. Fisiologis Adaptasi Mode adalah proses fisik dan kimiawi dan prilaku yang menyinggung aspek fisik individu. Terdapat 5 kebutuhan yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat dan proteksi. Perawat harus mempelajari proses yang normal. Konsep diri adaptasi mode merupakan gabungan dari keyakinan dan perasaan tentang dirinya pada suatu waktu. Fokusnya adalah aspek psikologis dan spiritual individu. Fungsi peran adaptasi mode adalah harapan tentang pekerjaan dan posisi individu terhadap posisi pekerjaan lainnya. Dasar kebutuhan adalah integritas sosial, untuk mengetahui hubungan satu dengan lainnya. Interdependen adapatasi mode adalah prilaku yang menyinggung tentang hubungan interpenden antara individu dan kelompok. Dasar kebutuhannya adalah perasaan aman dalam suatu hubungan.

Level kedua pengkajian adalah menganalisis 3 tipe stimulus yang mempengaruhi prilaku yang inefektif, terdiri dari stimulus fokal, konntekstual dan residual. Langkah perawat selanjutnya adalah menetapkan dianosa keperawatan yang berupa pernyataan yang menginterpretasikan data tentang status adaptasi individu, termasuk prilaku dan stimulus yang relevan. Setelah itu perawat menentukan tujuan keperawatan yang meliputi pernyataan yang jelas tentang kriteria hasil dari pemberian perawatan. Selanjutnya perawat melakukan intervensi keperawatan yang menentukan bantuan yang diberikan pada individu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Langkah terakhir adalah evaluasi keperawatan yang merupakan penilaian terhadap efektifitas dari intervensi keperawatan. Proses keperawatan berdasarkan Model Adaptasi Roy dapat dilihat pada gambar. 2 dibawah ini:

BAB III

ANALISIS TEORI

A. KELEBIHAN

Model Adaptasi Roy telah menggambarkan tahapan–tahapan dalam proses keperawatan yang lengkap. Berdasarkan teori Roy, tahapan proses keperawatan dimulai dari 2 level pengkajian , diagnosa keperawatan, tujuan tindakan keperawatan, intervensi keperawatan dan evaluasi keperawatan. Kelebihan proses keperawatan berdasarkan Model Adaptasi Roy ini adalah pada tahap 2 level pengkajian yang harus dilakukan perawat.

Pengkajian keperawatan dimulai dengan; level 1) perawat mengkaji respon prilaku pasien terhadap stimulus yaitu fisiologis adaptasi mode, konsep diri adaptasi mode, peran adaptasi mode dan ketergantungan adaptasi mode, level 2) perawat mengkaji stressor yang dihadapi pasein yaitu stimulus fokal & kontekstual ( yang pada dasarnya merupakan faktor presipitasi dari masalah yang dihadapi pasien) dan stimulus residual (yang pada dasarnya merupakan faktor predisposisi dari masalah yang dihadapi pasien), sehingga pengkajian yang dilakukan perawat lebih lengkap dan perawat dapat menegakkan diagnosa lebih akurat dari pengkajian tersebut.

Di tatanan keperawatan jiwa sendiri, pendekatan yang digunakan pada Teori Adaptasi Roy ini sangat bermanfaat ketika perawat melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan jiwa, resiko gangguan dan sehat jiwa. Dengan teori ini, perawat tidak hanya dapat mengintervensi tanda dan gejala tapi juga dapat mengetahui & memberikan intervensi pada faktor presipitasi dan faktor predisposisi dari masalah yang dihadapi pasien. Sehingga perawat dapat mencegah pasien mengalami masalah resiko dan gangguan jiwa, mengatasi masalah resiko dan gangguan jiwa dan meningkatkan individu yang sehat agar tidak mengalami masalah resiko dan gangguan jiwa.

Selain itu, dengan Teori Adaptasi Roy ini, perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat lebih memahami tentang proses adaptasi yang terjadi pada individu, yang dimulai dari adanya stimulus/stressor yang dapat menjadikan individu mengalami stress, proses mekanisme koping (kognator dan regulator) dan effektor sebagai upaya individu mengatasi stressor dan terakhir timbulnya respon prilaku individu terhadap stressor yang dihadapinya. Teori ini hampir mirip dengan Teori Stress Adaptasi Stuart-Laraia yang ada di keperawatan jiwa.

B. KEKURANGAN DAN PERBAIKAN

Masukan dan perbaikan untuk Model Adaptasi Roy adalah untuk lebih menjabarkan hubungan antara mekanisme koping: kognator dalam meningkatkan adaptasi serta hubungannya dengan 4 adaptasi mode. Selain itu perlu penjabaran lebih lanjut tentang hubungan adaptasi dengan kesehatan. Di praktek klinis, perlu dikaji lebih lanjut bagaimana perawat dapat membantu individu ke arah yang positif dengan menggunakan Model adaptasi Roy misal: ketika memberikan asuhan keperawatan pada pasien-pasien dengan pemulihan kognitif / pasien dengan trauma / cedera kepala (Tiedman, 1996 dalam Araich, 2001).

Selain itu Model Adaptasi Roy merupakan model keperawatan yang komplex dengan konsep dan mempunyai hubungan antar konsep-konsep. Sehingga perlu diklarifikasi kembali tentang:

  • Overlaping yang terjadi pada psikososial adaptif mode yaitu pada konsep diri, fungsi peran dan interdependen. Konsep diri terdiri dari 5 komponen, salah satunya adalah fungsi peran. Bagaimana perawat dapat membedakan antara konsep diri, fungsi peran dan ketergantungan?
  • Ketika menilai prilaku adaptif dan maladaptif, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi penilaian tersebut, salah satunya adalah sistem nilai yang dianut perawat
  • Kata adaptasi tidak secara umum menyampaikan pengertian tentang pertumbuhan (Lancester, 1992 dalam Araich, 2001).
  • Model Adaptasi Roy lebih berfokus pada proses adaptasi pasien dan bagaimana pemecahan masalah pasien dengan menggunakan proses keperawatan dan tidak menjelaskan bagaimana sikap dan prilaku caring perawat ketika melakukan asuhan keperawatan. Pada prinsipnya pemecahan masalah pasien sangat penting dalam keperawatan, tetapi prilaku caring juga sangat diperlukan ketika memberikan asuhan keperawatan pada pasien, karena bisa saja seorang perawat yang tidak mempunyai prilaku caring akan menjadi stressor baru bagi pasiennya.

BAB IV

PENUTUP

Model Adaptasi Roy menggambarkan manusia sebagai sistem terbuka dan sistem adaptif yang akan merespons terhadap kejadian atau perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan baik yang internal maupun external. Kegiatan keperawatan diarahkan pada penciptaan lingkungan yang memungkinkan terjadinya penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Selain itu kegiatan keperawatan juga diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan kemampuan proses adaptasi klien. Model Adaptasi Roy berfokus pada pemecahan masalah pasien dengan mengunakan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, tujuan, intervensi dan evaluasi keperawatan.

REFERENSI

Araich (2001), Roy’s Adaptation Model: Demonstration of Theory Integration into Process of Care in Coronary Care Unit, Nursing Web Jurnal Ed.7 tahun 2001

Tomey & Alligood (2006), Nursing Theoriests and Their Work, St. Louis: Mosby

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxIna1woxLy21Wvrqd3Yt-zqAJixtX2lweNNe7mxRet_SDRN0edP-6Cm4PD1oV0GCvEccoo56YaNuq6KjK8MtghAGO0nKaCXYmFYU9Kab5wK7Uw3_uKhxf6oevFOJUTOfBKlYcYbLV53kN/s1600-h/PIC+6.jpg diakses pada tanggal 16 oktober 2008 jam 16.40 wib

http://nursingtheories.blogspot.com/2008/07/sister-callista-roy-adaptation-theory.html diakses pada tanggal 16 oktober 2008 jam 16.00 wib

http://www2.bc.edu/~royca/htm/ram.htm diakses pada tanggal 16 oktober 2008 jam 16.30 wib

Roy (2005), Sister Calista Roy: Roy Adaptation Model http://www.nipissingu.ca/faculty/arohap/aphome/NURS3006/Resources/SisterCallistaRoy_2.pdf diakses tanggal 16 okt 2008 jam 07.00 wib

http://www.nursing.gr/protectedarticles/Roy.pdf diakses tanggal 16 okt 2008 jam 07

Roy (2005), The Importance of Theory-Based Practice with Examples from the Roy Adaptation Model Roy http://www3.uakron.edu/nursing/documents/distlecture/Roy%20Lecture%202005.pdf diakses pada tanggal 16 oktober 2008 jam 16.00 wib

http://www.bc.edu/schools/son/faculty/theorist/Roy_Adaptation_Model.html diakses pada tanggal 16 oktober 2008 jam 17.00 wib

model sosial dan aplikasinya dalam keperawatan jiwa

BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini perkembangan teknologi semakin meningkat yang mengharuskan manusia untuk mengikuti perkembangan tersebut. Seseorang akan mampu mengikuti perkembangan tersebut apabila dibekali dengan kemampuan individu dan support sistem yang mendukungnya untuk dapat beradaptasi. Hal ini dikaranakan banyaknya stressor yang akan timbul baik lingkungan internal maupun external individu

Seiring dengan semakin tingginya stressor yang dihadapi individu dalam masyarakat, seperti tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin kompleks, berdampak pada tingkat stress individu. Kondisi tersebut beresiko tinggi menyebabkan gangguan fisik dan jiwa, sehingga dapat diprediksi angka kesakitan semakin meningkat khususnya gangguan jiwa.

Masalah gangguan jiwa yang terjadi pada individu di masyarakat dapat disebabkan oleh faktor lingkungan khususnya msyarakat itu sendiri dan sosial budayanya. Gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor lingkungan sosial ini dapat berupa isolasi sosial. Isolasi sosial pada individu akan berakibat timbulnya masalah gangguan jiwa yang semakin kompleks seperti halusinasi yang akan beresiko terhadap dirinya sendiri, oranglain dan lingkungannya.

Berkenaan dengan hal tersebut maka perlu dibuat pendekatan yang lebih komprehensif khususnya dibidang keperawatan jiwa agar masalah yang muncul dapat dicegah atau diatasi dengan baik. Oleh karena itu kami tertarik untuk membahas teori yang berkenaan dengan masalah ini.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Fokus dari model sosial adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial tersebut dapat berakibat terhadap individu dan pengalaman individu dalam hidupnya. Menurut Szass & Caplan dalam Stuart & Laraia (2005), budaya dapat berguna dalam mengartikan gangguan jiwa, terapi dan memastikan masa depan pasien.

Berdasarkan model sosial, kondisi sosial besar pengaruhnya terhadap penyimpangan perilaku. Tingkah laku yang normal pada suatu budaya, kadang bisa jadi eksentrik pada budaya lain. Szass berpendapat bahwa lingkungan sosial dapat menjadi tidak menyenangkan dengan memberikan suatu label untuk gangguan jiwa.

Individu yang diberikan label tersebut biasanya tidak mampu dan menolak untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial dan tingkah laku mereka biasanya mengarah untuk mengisolasikan diri. Jika individu tersebut menyesuaikan diri dengan harapan sosial maka mereka akan dipertimbangkan untuk kembali ke komunitasnya.

Menurut Szass setiap individu bertanggungjawab terhadap perilakunya. Dan ia juga mengatakan bahwa penyakit fisik dapat berpengaruh tehadap tingkah laku, tapi bukan secara fisiologis yang menyebabkan terjadinya penyimpangan.

Caplan berpendapat bahwa terdapat model kesehatan masyarakat yang dapat diberikan untuk menjaga kesehatan jiwa yang terdiri dari prevensi primer, sekunder dan tertier. Kurangnya pemahaman tentang penyebab penyimpangan perilaku dapat diatasi dengan tehnik prevensi primer. Berdasarkan model ini profesi yang profesional dan tidak profesional dengan keterampilan konsultasi yang profesional.

Menurut Caplan, situasi sosial dapat menjadi faktor predisposisi dari gangguan jiwa. Situasi tersebut dapat berupa kemiskinan, keluarga yang tidak stabil dan pendidikan yang rendah. Penyimpangan perilaku dalam kehidupan dapat menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk mengatasi stress. Individu yang kurang dukungan sosial juga dapat menyebabkan respon koping yang maladaptive.

Terapi yang dianjurkan adalah terapi sosial dan pasien tidak dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Terapis dianjurkan untuk ke mengunjungi pasien di masyarakat. Dan aktivitas yang dilakukan adalah penyuluhan terhadap kelompok masyarakat dan konseling.

Ketentuan hubungan pasien dan terapis (perawat) adalah terapi akan dapat menolong pasien hanya apabila pasien meminta pertolongan. Pasien datang ke terapis untuk menjelaskan masalahnya dan meminta untuk dibantu menenyelesaikan masalahnya. Pasien juga mempunyai hak menolak intervensi terapeutik yang diberikan. Terapi akan sukses jika pasien puasa dengan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Terapis bersama-sama dengan pasien meningkatkan perubahan. Perubahan tersebut menyangkut membuat rekomendasi tentang arti yang mungkin dari apa elemen penyesuain diri yang efektif, tidak termasuk beberapa elemen yang termasuk dalam paksaan terhadap tindakan di rumah sakit jika pasien tidak setuju dengan rekomendasi yang dianjurkan oleh terapis. Ketentuan dari terapi juga termasuk didalamnya perlindungan pasien dari tuntutan sosial terhadap prilaku kekerasan di lingkungan sosial (Caplan dalam Stuart & Laraia, 2005).

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan teori yang dikemukan oleh Szass dan Caplan dalam Model Sosial dapat dilihat bahwa ada keterkaitan antara individu dengan lingkungan sosialnya yang dapat mempengaruhi individu dan pengalaman dalam hidupnya. Menurut Szass & Caplan dalam Stuart & Laraia (2005), budaya juga dapat berguna dalam mengartikan gangguan jiwa, terapi dan memastikan masa depan pasien.

Model sosial ini dapat diaplikasikan dalam keperawatan jiwa khususnya pada saat melakukan pengkajian keperawatan terhadap pasien. Adapun data yang dapat dikaji pada pasien difokuskan pada saat mengkaji faktor predisposisi yaitu faktor sosial budaya yang dapat menjadi faktor resiko timbulnya gangguan jiwa. Selain itu pengkajian tentang faktor presipitasi atau faktor pencetus timbulnya gangguan jiwa khususnya ketika kita mengkaji pada bagian nature, origin yaitu pada lingkungan eksternal.

Model sosial ini juga dapat diaplikasikan pada pelayanan keperawatan khususnya pada tatanan komunitas. Pada model ini perawat memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami gangguan sosial, Semua intervensi yang dilakukan melalui kunjungan rumah dan konseling maupun penyuluhan-penyuluhan kesehatan pada pasien maupun masyarakat. Hal ini diharapkan bahwa pasien akan mampu beradaptasi dengan lingkungan dimana dia tinggal.

BAB IV

KESIMPULAN

Model sosial merupakan salah satu contoh model yang dapat dikembangkan dan diaplikasikan dalam tatanan pelayanan keperawatan khususnya keperawatan jiwa. Fokus model sosial ini adalah lingkungan sosial yang dapat berpengaruh terhadap individu dan pengalaman hidupnya.

Aplikasi model sosial ini dapat diterapkan pada proses keperawatan jiwa yaitu pada saat perawat mengkaji pasien dengan gangguan sosial dan saat melakukan tindakan keperawatan. Dengan mengaplikasikan model sosial ini maka diharapkan dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan jiwa.

REFERENSI :

Reed, P.G., Shearer, N.C., and Nicoll, L.H. (2004). Perspectives on Nursing Theory 4 th Ed. Philadelpia : Lippincott

Stuart, G.W. and Laraia, M.T (2005). Principles and practice of psychiatric Nursing 7 th Ed. St. Louis : Mosby

Minggu, 23 November 2008

Salam Pembuka

Ass, selamat datang di blog saya bagi seluruh penggemar keperawatan jiwa