Kamis, 18 Desember 2008

Keperawatan jiwa dan Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Perlukah ?

Pendahuluan

Keperawatan jiwa merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Apalagi dengan terjadinya krisis multi dimensi dan global yang terjadi saat ini, semua rakyat Indonesia baik dari mulai kandungan sampai lanjut usia butuh keperawatan jiwa untuk mempertahankan dan terus meningkatkan kesehatan jiwanya.

Keperawatan jiwa itu sendiri merupakan suatu pelayanan keperawatan yang komprehensif, holistik dan paripurna yang berfokus individu, keluarga dan masyarakat baik yang sehat jiwa, rentan terhadap stress maupun dalam tahap pemulihan serta pencegahan kekambuhan. Tujuan pelayanan keperawatan jiwa adalah meningkatkan kesehatan jiwa, mencegah terjadinya gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pasien dan keluarga dalam memelihara kesehatan jiwa.

Pelayanan keperawatan jiwa itu sendiri merupakan pelayanan yang komprehensif yang berfokus pada pencegahan primer pada anggota masyarakat yang sehat jiwa, pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa dan pencegahan tersier pada pasien gangguan jiwa dengan proses pemulihan. Selain itu keperawatan jiwa merupakan pelayanan yang holistik berfokus pada aspek bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual, dan lengkap jenjang pelayanannya yaitu dari pelayanan kesehatan jiwa spesialistik, pelayanan kesehatan jiwa integratif dan pelayanan kesehatan jiwa yang bersumber daya masyarakat. Dan pelayanan keperawatan jiwa tersebut diberikan secara terus menerus (continuity of care) dari kondisi sehat sampai sakit dan sebaliknya, baik di rumah maupun di rumah sakit, (di mana saja orang berada), dari dalam kandungan sampai lanjut usia.

Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah yang banyak terjadi dan sering terabaikan dimasyarakat, padahal dengan terjadinya berbagai krisis yang terjadi di negara kita ini, masalah-masalah kesehatan jiwa ini semakin meningkat. Banyak kita lihat dimedia massa, bagaimana anak kecil harus mati bunuh diri hanya karena problem sekolah maupun keluarganya.

Gangguan jiwa dalam berbagai bentuk adalah penyakit yang sering dijumpai pada semua lapisan masyarakat. Penyakit ini dialami oleh siapa saja, bukan hanya mereka yang mapan. Prevalensi gangguan jiwa di negara sedang berkembang dan negara maju relatif sama. Di Indonesia, prevalensinya sekitar 20 persen dari total penduduk dewasa. Dalam laporan WHO juga diperlihatkan tingginya beban penyakit yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa. Dari 10 penyebab yang menimbulkan beban penyakit, empat di antaranya adalah akibat langsung dari gangguan jiwa, yaitu depresi, penggunaan alkohol, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Sayangnya, untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa ini, di Indonesia tidak didukung oleh sumber-sumber tenaga, fasilitas, maupun kebijakan kesehatan jiwa yang memadai. Secara keseluruhan, sumber daya yang dimiliki masih jauh dari mencukupi.

Untuk itu sangat perlu upaya kesehatan jiwa untuk kita semua, agar masyarakat dan generasi penerus bangsa ini mempunyai kualitas kesehatan jiwa yang optimal, dan tidak rentan terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi sepanjang hidupnya. Semua individu baik yang sehat, mengalami masalah resiko maupun penderita gangguan jiwa harus dibina, dilatih agar mampu mengatasi masalahnya dan mandiri dalam kehidupannya.

Dan alangkah mirisnya hati kita, jika kita lihat keseharian orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa ini dijauhi dan mendapatkan stigma serta diskriminasi dimasyarakat. Dan saat ini stigma dan diskriminasi tersebut masih sangat kuat, terjadi karena adanya proses labelling terhadap orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa. Teori labelling ini pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-orang lain (orangtua, keluarga, masyarakat) menilainya. Penilaian itu ditentukan oleh kategorisasi yang sudah melekat pada pemikiran orang lain tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk ke dalam kategori-kategori yang sudah dianggap baku oleh masyarakat (dinamakan: residual) otomatis akan dianggap menyimpang. Karena itulah orang bisa dianggap sakit jiwa hanya karena berbaju atau bertindak "aneh" pada suatu tempat/masa tertentu. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya. Dan itu akan merugikan bagi penderita gangguan jiwa itu sendiri.

Karena proses labeling ini juga penderita gangguan jiwa banyak yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan, begitu juga dengan peran sosial yang layak didapatnya di masyarakat. Selain itu akses mereka terhadap fasilitas publikpun terbatas, termasuk tidak adanya asuransi yang menanggung penderita gangguan jiwa. Dan banyak pemberitaan atau pemaparan oleh media massa tentang penderita gangguan jiwa lebih banyak bersifat eksploitatif. Belum lagi adanya penyalahgunaan peraturan perundangan yang diberlakukan terhadap penderita gangguan jiwa sehingga mereka sangat rentan kehilangan hak hukumnya, seperti hak pengasuhan anak, dan hak waris dan lain-lain.

Selain stigma, perlakuan buruk juga sering terjadi pada pasien-pasien dengan masalah kesehatan jiwa, hal ini berhubungan dengan keterbatasan perangkat peraturan/perundang-undangan yang mengatur hak dan kewajiban hukum penderita gangguan jiwa. Juga masih kaburnya deskripsi dan batasan istilah gangguan jiwa dalam pasal- pasal peraturan atau perundang-undangan yang berlaku di negeri ini memudahkan terjadinya perlakuan salah yang merugikan mereka.

Proses pembuatan Undang-undang ini harus mulai dijajaki sekarang ini apalagi ditinjau dari beberapa negara lain yang telah terlebih dahulu menerapkan Undang-undang kesehatan jiwa untuk melindungi rakyatnya yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Bila kita lihat di Aceh sendiri sebagai bagian dari Negara ini telah menerapkan Undang-undang Pemerintahan Aceh yang didalamnya mengandung beberapa butir tentang perlindungan untuk individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Pasal 226 ayat 1 Undang-undang pemerintahan aceh menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat mengikutsertakan lembaga sosial kemasyarakatan untuk berperan dalam program perbaikan, pemulihan psikososial, dan kesehatan mental akibat konflik dan bencana alam. Dan ayat 2 menyebutkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan budaya Aceh dan memaksimalkan peran masyarakat setempat. Walaupun belum secara keseluruhan melindungi seluruh hak dari pasien dengan masalah kesehatan jiwa tersebut.

Proses pembuatan Undang-undang atau legislasi tersebut dapat dimulai dengan tahap persiapan, pembuatan draft Undang-undang, proses adopsi dan implementasi undang-undang. Isu utama yang harus diperhatikan dalam proses legislasi undang-undang adalah tentang persiapan yang diperlukan dalam menjamin kelancaran pelaksanaan UU, bentuk standar dan proses administrasi, prosedur harus mengatur dan memantau pelaksanaan undang – undang, mengubah sikap masyarakat dan mengurangi stigma dan diskriminasi merupakan komponen penting dalam menentukan keberhasilan UU, pengguna, keluarga, kelompok advokasi dan profesional perlu memiliki pengetahuan tentang undang – undang melalui pelatihan dan sumber dana dan SDM harus disiapkan.

Tidak ada komentar: